.jpg)
.jpg)
.jpg)
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: Uniknya tanah air ku..
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: Quote of the Day, renungan.., tentang aku
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: tentang aku
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: Ilmiah Islam
Salah satu amalan yang harus diamalkan umat Islam adalah menjauhi sifat iri hati, dengki dan hasad. Menjauhi sifat-sifat yang bagaikan virus itu, merupakan bagian dari sikap yang harus dilakukan umat Islam. Sebab hal itu bukan saja merugikan bagi yang menjadi sasaran dengki dan hasad, tetapi juga merugikan diri orang itu sendiri. Ada kisah tentang tingkah laku seorang sahabat sahabat yang oleh Nabi Muhammad saw dijamin bakal menjadi penghuni surga yang kekal. Kisahnya demikian. Rasulullah pada suatu ketika duduk bersama sahabat. Saat itu lewatlah sahabat lain. Sahabat itu tidak menonjol, biasa saja,. Tetapi kepada para sahabat yang lain, Nabi berkata tentang sahabat yang satu ini. “Dia adalah seorang lelaki calon penghuni surga,” kata beliau sambil menunjuk lelaki itu. Mendengar itu, Abdullah bin Umar menjadi penasaran. Ia berupaya mengetahui rahasia kehidupan orang yang dipastikan oleh Nabi sebagai penghuni surga itu. “Apa amalan lelaki Anshar ini, dan apa pula kelebihannhya,” kata Abdulah dalam hati. Untuk menyelidiki orang tersebut, Abdullah bin Umar pun meminta diperbolehkan tinggal selama beberapa hari di rumah sahabat yang dikatakan Nabi calon penghuni surga itu. “Jika tidak keberatan, aku ingin tinggal bersamamu untuk beberapa hari saja,” katanya. “Ada apa dengan kamu?” “Aku baru saja bertengkar dengan ayahku. Dan aku bersumpah tidak ingin bertemu dengannya selam tiga hari ini,” kata Abdullah berbohong. “Boleh, silahkan kapan saja dan berapa lama pun bisa,” kata sahabat itu dengan ramah. Selama tiga hari itu, diamatinya tingkah laku dan tindak tanduk sahabat itu dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, setelah beberapa hari tinggal beberapa hari di rumah sahabat itu, Abdullah tidak menyaksikan kelebihan amalan atas sahabat itu. Ia menyaksikan kehidupan bakal penghuni surga itu biasa-biasa saja, amalan shalatnya pun biasa-biasa saja. Saat hendak pamit, Abdullah terpaksa “membuka kartu” dan bertanya kepada tuan rumah bakal penghuni surga itu. “Saudaraku, sebenarnya aku tidak apa-apa dengan ayahku,” kata Abdullah. “Lalu ada apa kau tidur di rumahku?” tanya lelaki Anshar itu. “Beberapa hari yang lalu, ketika kami sedang berkumpul dengan Nabi di masjid, beliau mengatakan bahwa sebentar lagi akan ada orang Anshar calon penghuni surga masuk ke masjid itu. Dan laki-laki Anshar yang disebut-sebut Rasulullah itu adalah kamu.” “Ah, benarkah begitu?” kata lelaki Anshar itu merendahkan diri. “Benar, Nabi berkata begitu. Cuma kini kami ingin tahu, apa sebenarnya amalan tuan sehingga Rasulullah memastikan tuan akan masuk surga?” tanya Abdullah. “Oh, jadi selama ini kamu menyelidiki aku ya?” “Ya,” katanya terus terang. “Tak ada amalan khusus yang aku amalkan. Beginililah kehidupan saya sehari-hari sebagaimana yang anda saksikan sendiri beberapa hari di sini.” Kata sahabat Anshar itu. Mendengar jawaban itu, Abdullah semakin penasaran. “Tetapi masih ada sesuatu yang anda rahasiakan kepadaku.” Pada akhirnya orang bakal penghuni surga itu juga ikut ”membuka kartu” dan mengungkapkan apa adanya. “Sesungguhnya yang aku amalkan dari ajaran Nabi adalah biasa saja. Aku berusaha sekuat tenaga tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan sesama kaum Muslimin. Aku berusaha selalu berusaha membersihkan hatiku dengan tidak pernah memiliki sifat iri hati serta menaruh rasa dengki dan hasad kepada orang lain sepanjang hidupku. Apalagi hasad terhadap kenikmatan yang diterima orang lain. “Hanya itu?” tanya Abdullah. “Ya,” jawabnya. Mendengar pengakuan jujur lelaki itu, Abdullah bin Umar semakin takjub mendengarnya. Secara lahiriah, amalan lelaki Anshar itu tak terlalu istimewa. Tetai secara rohaniah, amalan itu sungguh luar biasa. Bukankah memang banyak orang yang mampu menunaikan shalat tetapi tak mampu menjaga hatinya dari rasairi, dengki, hasad dan prasangka buruk kepada orang lain. “Subhanallah, rupanya inilah amalan utama yang telah menjadikan dirimu mendapat kemuliaan di surga,” kata Abdullah di dalam hati sambil berpamitan meninggalkan rumah lelaki itu. Begitulah rahasia yang ditemukan Abdullah bin Umar pada sahabat itu, sehingga ia mendapat jaminan Rasulullah akan menjadi penghuni surga. Kuncinya tidak iri hati, hasad, dan dengki kepada orang lain. Amalan shalat sebanyak apapun tidak akan berguna jika di dalam hati orang itu masih terdapat sifat dengki dan iri hati. Orang yang terpuji di sisi Allah adalah orang yang menjalankan shalat dengan ikhlas dan menjauhi sifat dengki dan hasad seperti sahabat itu.**
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: Aku Lelaki.., renungan..
Seorang wanita sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada pemadam.
Sang guru berkata, "Saya punya permainan... Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada pemadam. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah "Kapur!", jika saya angkat pemadam ini, maka berserulah "Pemadam!"
Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti- gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, "Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah "Pemadam!", jika saya angkat pemadam, maka katakanlah "Kapur!".
Dan diulangkan seperti tadi, tentu saja murid-murid tadi keliru dan kekok, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kekok. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.
"Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara, untuk menukarkan sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya.
Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kita menerima hal tersebut, tapi kerana terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan anda mulai dapat mengikutinya.
Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika."
"Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, seks sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan lain lain."
"Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, anda sedikit demi sedikit menerimanya. Faham?" tanya Guru kepada murid-muridnya. "Faham cikgu..."
"Baik permainan kedua..." begitu Guru melanjutkan. "Cikgu ada Qur'an, cikgu akan letakkannya di tengah karpet. Sekarang anda berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah tanpa memijak karpet?"
Murid-muridnya berpikir . Ada yang mencuba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur'an. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.
"Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya... Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak anda dengan terang-terang... Kerana tentu anda akan menolaknya mentah mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung anda perlahan-lahan dari pinggir, sehingga anda tidak
sedar."
"Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina tapak yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat.
Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau tapaknya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kerusi dipindahkan dulu, Almari dibuang dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan..."
"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghentam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan meletihkananda.
Mulai dari perangai anda, cara hidup, pakaian dan lain-lain,sehingga meskipun anda muslim, tapi anda telah meninggalkan ajaranIslam dan mengikuti cara yang mereka... Dan itulah yang mereka inginkan."
"Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kita...
"Kenapa mereka tidak berani terang-terang memijak-mijak cikgu?" tanya mereka. "Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi."
"Begitulah Islam... Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sedar, akhirnya hancur. Tapi kalau diserang serentak terang- terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sedar."
"Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang..."
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan fikiran masing-masing di kepalanya...
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: renungan..
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: para wali
1. ASAL USUL.
Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.
Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman.
Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakan pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.
Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: para wali
1. ASAL USUL.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ….. saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan.Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua ………. apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan ………. “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“Tunggu ………. “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid …… “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ……“
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu. Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidal langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid
Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata “Allaun” artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.
Posted by Faiz Nazli 0 komen pada saya
Labels: para wali